Membangun Kepercayaan Baru dalam Hubungan
“Seiring dengan berjalannya waktu… Masalah pun berlalu dengan
sendirinya”
Pernah dengar kalimat itu?
Apakah memang benar?
Apa Anda percaya dengan kalimat tersebut???
Ehmm… secara pribadi saya kok tidak mempercayainya ya.
Maksud saya ya memang ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan saat itu juga dan membutuhkan waktu (sedikit) lebih lama untuk penyelesaiannya daripada masalah yang lain.
Tetapi kan jelas-jelas bukan berarti kita hanya perlu duduk ongkang-ongkang kaki dan membiarkan alam semesta ini yang membereskan semua.
Masalah harus dihadapi dan diselesaikan.
Dimana tentunya pertama-tama kita harus memilki keberanian terlebih dahulu untuk mau berhadapan langsung dengan masalah yang ada.
Ini adalah hukum yang berlaku di manapun juga.
Kita tidak akan pernah mendapatkan apapun kecuali kita berusaha untuk mendapatkannya.
Bagaimana kita dapat mengharapkan memiliki hidup yang damai dan tentram jika kita terus-menerus menumpukkan masalah di dalam ‘lemari’ kehidupan kita.
Cepat atau lambat, ‘lemari’ tersebut akan meledak karena kepenuhan toh?
Berapa banyak menurut Anda, ‘lemari’ tersebut mampu menampung masalah-masalah kita??
Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa ‘lemari’ kita itu seperti kantong Doraemon yang dengan huebattnya mampu untuk menampung apa saja dan sampai kapan saja tanpa batas sepanjang hidup.
Ehmm… Kalau iya, berarti saya akan stop disini dan berdoa yang terbaik untuk Anda.
Tetapi kalau tidak dan Anda mulai berpikir bahwa ‘lemari’ Anda sudah hampir meledak, memuntahkan masalah-masalah yang tak tersentuh selama ini, maka mungkin sudah saatnya Anda menghadapi kenyataan yang sebenarnya.
Kenyataan bahwa Anda butuh untuk segera membersihkan ‘lemari’ Anda.
Saya percaya, kecenderungan untuk mendiamkan dan menumpuk masalah dalam ‘lemari’ Anda itulah yang seringkali menjadi kericuhan dalam sebuah hubungan. Entah itu hubungan pertemanan, hubungan keluarga atau hubungan dengan kekasih.
Individu dalam sebuah hubungan memiliki kecenderungan untuk membiarkan masalah berlalu dengan sendirinya.
Saya bahkan harus mengakui bahwa terkadang saya pun memiliki kecenderungan tersebut.
Perbedaannya mungkin terletak pada tingkat kecenderungan yang dimiliki.
Beberapa memiliki tingkat kecenderungan yang lebih rendah dan banyak berusaha untuk secepatnya menghadapi masalah-masalah yang tertunda.
Beberapa yang lain mungkin berada pada kondisi penyangkalan terus-menerus dan merasa tidak ada yang perlu untuk dihadapi.
Sejujurnya saya tidak bisa menyalahkan mereka yang berada dalam penyangkalan tersebut.
Dari semenjak lahir, kita selalu diajarkan betapa orang lain melengkapi kita.
Dari semenjak lahir, kita selalu diajarkan bahwa kita tidak sempurna dan selalu membutuhkan orang lain untuk hidup.
Memang di satu sisi hal tersebut tentunya benar.
Kita memang membutuhkan orang lain karena kita adalah makhluk sosial dan membutuhkan orang lain dalam proses belajar kita sepanjang hidup.
Namun sayangnya ajaran yang dibombardir setiap saat ini dapat pula menimbulkan 2 jenis individu.
Yang pertama adalah individu yang menjadi takut sekali untuk kehilangan seseorang (atau setiap orang) dalam hidupnya karena nantinya akan membuat ia menjadi tidak sempurna. Mereka berusaha setiap detik, setiap saat, untuk menyenangkan orang lain untuk dapat merasa sempurna meskipun mungkin hal yang dilakukan menyakiti diri sendiri. Mereka takut untuk menghadapi masalah yang ada karena mereka yakin dengan menghadapi masalah tersebut justru akan membuat hubungan yang terjalin menjadi hancur berantakan.
“Betul kan … Saya memang bodoh. Biarkan sajalah. Tidak perlu untuk membahasnya. Nanti suatu saat juga mereda sendiri masalah ini”
Atau mungkin yang kedua yang terus menyangkal membutuhkan orang lain karena ketakutannya akan ketidaksempurnaan. Mereka berusaha mati-matian untuk membuktikan betapa sempurnanya mereka sehingga tanpa orang lain pun mereka dapat hidup. Mereka selalu berhasil menggali sisi buruk dari orang lain dan selalu juara juga dalam menyalahkan orang lain ketika ada masalah yang terjadi. Setiap ada masalah, itu pasti karena orang lain dan bukan karena mereka.
“duh… dia bodoh sekali sih… dia keras kepala sekali sih… dia ini… dia itu…. Saya tidak peduli lagi! Saya bahagia untuk dapat hidup dalam dunia saya sendiri. Saya tidak butuh orang lain karena saya terlalu sempurna untuk mereka. Dunia tidak akan pernah dapat mengerti saya”
Jika kita dapat menelaah lebih lanjut, kedua bentuk reaksi tersebut sebenarnya mengarah pada emosi yang sama bukan, yaitu ketakutan.
Ini memang tampak seperti situasi yang menyedihkan sekali.
Namun BUKAN sesuatu yang tidak bisa untuk dirubah.
Seperti takdir yang ditulis di atas batu.
Kita dapat merubah kondisi tersebut jika kita memang berniat keras untuk merubahnya.
Bahkan batu pun sebenarnya dapat dipecah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Kita dapat mulai melakukan perubahan dengan cara mulai belajar merasakan cinta dan bukan ketakutan.
Selama ini, kita sudah banyak (kenyang malah mungkin) merasakan ketakutan.
Apakah Anda tidak berpikir sudah saatnya untuk berhenti?
Apakah Anda sudah bosan dengan keadaan tersebut?
Jika iya, bagaimana jika mulai membuka lembaran hidup baru?
Mulai belajar merasakan bagaimana rasanya cinta.
Bagaimana rasanya belajar mengikhlaskan dan mencintai diri sendiri dengan segala ketidaksempurnaan yang mungkin ada.
Yup! Dengan bangga saya menyatakan bahwa kita memang tidak sempurna.
Saya tidak ingin menjadi sempurna.
Saya bukanlah manusia jika saya sempurna.
Saya selalu menyatakan bahwa saya sempurna dengan segala ketidaksempurnaan yang mungkin ada dalam diri saya.
Saya bahkan banyak belajar dari ketidaksempurnaan saya.
Saya belajar untuk berusaha, berjuang untuk merubah kondisi jika memang dapat saya rubah. Dan belajar untuk mengikhlaskan, mencintai kondisi yang memang tidak bisa saya rubah lagi.
Saya mencintai setiap aspek ketidaksempurnaan yang saya miliki sama seperti saya mencintai setiap jengkal kesempurnaan saya.
Kenapa?
Karena keduanya malah membuat saya merasa sempurna.
Kita semua tahu bahwa koin memiliki dua sisi.
Kita menerima kenyataan tersebut.
Jadi mengapa kita tidak juga menerima kenyataan bahwa kita pun memiliki dua sisi yang saling melengkapi dalam hidup ini?
Lagipula, ayolah…. Beritahu saya bagaimana caranya kita dapat membenahi masalah-masalah yang ada diluar diri kita, jika kita belum juga mampu membenahi masalah yang ada didalam diri kita sendiri.
Pemikiran yang cukup menyentak bukan?
Oleh karenanya, saya sekarang mendorong Anda untuk mulai belajar menghadapi masalah yang ada.
Saya undang Anda untuk mulai mencintai diri Anda dan berhadapan langsung dengan ‘setan-setan’ Anda.
Mulai dari hal-hal kecil dalam diri Anda, perlahan demi perlahan, lalu mulai mencoba untuk menghadapi yang ada di luar Anda.
Mari bersama-sama kita coba untuk membangun ajaran dan kepercayaan baru dalam hidup ini…
“Saya sempurna dengan segala ketidaksempurnaan saya dan saya mencintai keseluruhan paket diri saya”.
Pernah dengar kalimat itu?
Apakah memang benar?
Apa Anda percaya dengan kalimat tersebut???
Ehmm… secara pribadi saya kok tidak mempercayainya ya.
Maksud saya ya memang ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan saat itu juga dan membutuhkan waktu (sedikit) lebih lama untuk penyelesaiannya daripada masalah yang lain.
Tetapi kan jelas-jelas bukan berarti kita hanya perlu duduk ongkang-ongkang kaki dan membiarkan alam semesta ini yang membereskan semua.
Masalah harus dihadapi dan diselesaikan.
Dimana tentunya pertama-tama kita harus memilki keberanian terlebih dahulu untuk mau berhadapan langsung dengan masalah yang ada.
Ini adalah hukum yang berlaku di manapun juga.
Kita tidak akan pernah mendapatkan apapun kecuali kita berusaha untuk mendapatkannya.
Bagaimana kita dapat mengharapkan memiliki hidup yang damai dan tentram jika kita terus-menerus menumpukkan masalah di dalam ‘lemari’ kehidupan kita.
Cepat atau lambat, ‘lemari’ tersebut akan meledak karena kepenuhan toh?
Berapa banyak menurut Anda, ‘lemari’ tersebut mampu menampung masalah-masalah kita??
Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa ‘lemari’ kita itu seperti kantong Doraemon yang dengan huebattnya mampu untuk menampung apa saja dan sampai kapan saja tanpa batas sepanjang hidup.
Ehmm… Kalau iya, berarti saya akan stop disini dan berdoa yang terbaik untuk Anda.
Tetapi kalau tidak dan Anda mulai berpikir bahwa ‘lemari’ Anda sudah hampir meledak, memuntahkan masalah-masalah yang tak tersentuh selama ini, maka mungkin sudah saatnya Anda menghadapi kenyataan yang sebenarnya.
Kenyataan bahwa Anda butuh untuk segera membersihkan ‘lemari’ Anda.
Saya percaya, kecenderungan untuk mendiamkan dan menumpuk masalah dalam ‘lemari’ Anda itulah yang seringkali menjadi kericuhan dalam sebuah hubungan. Entah itu hubungan pertemanan, hubungan keluarga atau hubungan dengan kekasih.
Individu dalam sebuah hubungan memiliki kecenderungan untuk membiarkan masalah berlalu dengan sendirinya.
Saya bahkan harus mengakui bahwa terkadang saya pun memiliki kecenderungan tersebut.
Perbedaannya mungkin terletak pada tingkat kecenderungan yang dimiliki.
Beberapa memiliki tingkat kecenderungan yang lebih rendah dan banyak berusaha untuk secepatnya menghadapi masalah-masalah yang tertunda.
Beberapa yang lain mungkin berada pada kondisi penyangkalan terus-menerus dan merasa tidak ada yang perlu untuk dihadapi.
Sejujurnya saya tidak bisa menyalahkan mereka yang berada dalam penyangkalan tersebut.
Dari semenjak lahir, kita selalu diajarkan betapa orang lain melengkapi kita.
Dari semenjak lahir, kita selalu diajarkan bahwa kita tidak sempurna dan selalu membutuhkan orang lain untuk hidup.
Memang di satu sisi hal tersebut tentunya benar.
Kita memang membutuhkan orang lain karena kita adalah makhluk sosial dan membutuhkan orang lain dalam proses belajar kita sepanjang hidup.
Namun sayangnya ajaran yang dibombardir setiap saat ini dapat pula menimbulkan 2 jenis individu.
Yang pertama adalah individu yang menjadi takut sekali untuk kehilangan seseorang (atau setiap orang) dalam hidupnya karena nantinya akan membuat ia menjadi tidak sempurna. Mereka berusaha setiap detik, setiap saat, untuk menyenangkan orang lain untuk dapat merasa sempurna meskipun mungkin hal yang dilakukan menyakiti diri sendiri. Mereka takut untuk menghadapi masalah yang ada karena mereka yakin dengan menghadapi masalah tersebut justru akan membuat hubungan yang terjalin menjadi hancur berantakan.
“Betul kan … Saya memang bodoh. Biarkan sajalah. Tidak perlu untuk membahasnya. Nanti suatu saat juga mereda sendiri masalah ini”
Atau mungkin yang kedua yang terus menyangkal membutuhkan orang lain karena ketakutannya akan ketidaksempurnaan. Mereka berusaha mati-matian untuk membuktikan betapa sempurnanya mereka sehingga tanpa orang lain pun mereka dapat hidup. Mereka selalu berhasil menggali sisi buruk dari orang lain dan selalu juara juga dalam menyalahkan orang lain ketika ada masalah yang terjadi. Setiap ada masalah, itu pasti karena orang lain dan bukan karena mereka.
“duh… dia bodoh sekali sih… dia keras kepala sekali sih… dia ini… dia itu…. Saya tidak peduli lagi! Saya bahagia untuk dapat hidup dalam dunia saya sendiri. Saya tidak butuh orang lain karena saya terlalu sempurna untuk mereka. Dunia tidak akan pernah dapat mengerti saya”
Jika kita dapat menelaah lebih lanjut, kedua bentuk reaksi tersebut sebenarnya mengarah pada emosi yang sama bukan, yaitu ketakutan.
Ini memang tampak seperti situasi yang menyedihkan sekali.
Namun BUKAN sesuatu yang tidak bisa untuk dirubah.
Seperti takdir yang ditulis di atas batu.
Kita dapat merubah kondisi tersebut jika kita memang berniat keras untuk merubahnya.
Bahkan batu pun sebenarnya dapat dipecah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Kita dapat mulai melakukan perubahan dengan cara mulai belajar merasakan cinta dan bukan ketakutan.
Selama ini, kita sudah banyak (kenyang malah mungkin) merasakan ketakutan.
Apakah Anda tidak berpikir sudah saatnya untuk berhenti?
Apakah Anda sudah bosan dengan keadaan tersebut?
Jika iya, bagaimana jika mulai membuka lembaran hidup baru?
Mulai belajar merasakan bagaimana rasanya cinta.
Bagaimana rasanya belajar mengikhlaskan dan mencintai diri sendiri dengan segala ketidaksempurnaan yang mungkin ada.
Yup! Dengan bangga saya menyatakan bahwa kita memang tidak sempurna.
Saya tidak ingin menjadi sempurna.
Saya bukanlah manusia jika saya sempurna.
Saya selalu menyatakan bahwa saya sempurna dengan segala ketidaksempurnaan yang mungkin ada dalam diri saya.
Saya bahkan banyak belajar dari ketidaksempurnaan saya.
Saya belajar untuk berusaha, berjuang untuk merubah kondisi jika memang dapat saya rubah. Dan belajar untuk mengikhlaskan, mencintai kondisi yang memang tidak bisa saya rubah lagi.
Saya mencintai setiap aspek ketidaksempurnaan yang saya miliki sama seperti saya mencintai setiap jengkal kesempurnaan saya.
Kenapa?
Karena keduanya malah membuat saya merasa sempurna.
Kita semua tahu bahwa koin memiliki dua sisi.
Kita menerima kenyataan tersebut.
Jadi mengapa kita tidak juga menerima kenyataan bahwa kita pun memiliki dua sisi yang saling melengkapi dalam hidup ini?
Lagipula, ayolah…. Beritahu saya bagaimana caranya kita dapat membenahi masalah-masalah yang ada diluar diri kita, jika kita belum juga mampu membenahi masalah yang ada didalam diri kita sendiri.
Pemikiran yang cukup menyentak bukan?
Oleh karenanya, saya sekarang mendorong Anda untuk mulai belajar menghadapi masalah yang ada.
Saya undang Anda untuk mulai mencintai diri Anda dan berhadapan langsung dengan ‘setan-setan’ Anda.
Mulai dari hal-hal kecil dalam diri Anda, perlahan demi perlahan, lalu mulai mencoba untuk menghadapi yang ada di luar Anda.
Mari bersama-sama kita coba untuk membangun ajaran dan kepercayaan baru dalam hidup ini…
“Saya sempurna dengan segala ketidaksempurnaan saya dan saya mencintai keseluruhan paket diri saya”.
0 komentar:
Posting Komentar