Menyadari betapa pentingnya perbedaan persepsi yang ada diantara kita
Ada sebuah fabel dari Afrika Barat
yang menarik....
Alkisah pada suatu hari Tuhan
berjalan-jalan di bumi menyamar sebagai seorang gelandangan tua dengan memakai
sebuah topi berwarna. Ia memakai topi yang satu sisinya berwarna merah,
sisi lain putih, depannya hijau dan di belakangnya hitam.
Tuhan mendatangi sekelompok orang disebuah desa yang sedang bekerja dan memutuskan untuk bersenda gurau dengan mereka. Karena pembicaraan sangat menarik, semakin malam semakin banyak orang berdatangan mengerumuni Tuhan dan mendengarkan kisah-kisah menarik dariNYa.
Tuhan mendatangi sekelompok orang disebuah desa yang sedang bekerja dan memutuskan untuk bersenda gurau dengan mereka. Karena pembicaraan sangat menarik, semakin malam semakin banyak orang berdatangan mengerumuni Tuhan dan mendengarkan kisah-kisah menarik dariNYa.
Beberapa hari kemudian orang-orang
desa kembali membicarakan orang tua yang mendatangi mereka beberapa hari yang
lalu.
“Apakah kau melihat orang tua
bertopi putih yang bercerita malam itu?” tanya orang pertama.
“Putih???Bukan, warna topinya merah” orang kedua menjawab.
“Jangan begitu...warna topinya putih” kata orang yang pertama “jelas-jelas putih…”
“Bukan....” sanggah orang yang kedua. “Saya melihatnya sendiri dengan kedua mata saya dan topi itu jelas berwarna merah.”
“Kamu pasti buta!” kata orang yang pertama.
“Enak saja....tidak ada masalah dengan mata saya” ujar orang yang kedua dengan suara yang mulai meninggi “pasti kamu yang sedang mabuk!”
“Kalian berdua memang buta!” tiba-tiba orang yang ketiga ikut berbicara “ Orang tua itu jelas-jelas memakai topi berwarna hijau.”
“Ada apa dengan kalian ini?” ujar orang yang keempat. “Topinya berwarna hitam dan semua orang bisa melhat warna itu. Kalian pasti setengah tertidur ketika Ia bercerita malam itu. Betapa bodohnya kalian.”
“Putih???Bukan, warna topinya merah” orang kedua menjawab.
“Jangan begitu...warna topinya putih” kata orang yang pertama “jelas-jelas putih…”
“Bukan....” sanggah orang yang kedua. “Saya melihatnya sendiri dengan kedua mata saya dan topi itu jelas berwarna merah.”
“Kamu pasti buta!” kata orang yang pertama.
“Enak saja....tidak ada masalah dengan mata saya” ujar orang yang kedua dengan suara yang mulai meninggi “pasti kamu yang sedang mabuk!”
“Kalian berdua memang buta!” tiba-tiba orang yang ketiga ikut berbicara “ Orang tua itu jelas-jelas memakai topi berwarna hijau.”
“Ada apa dengan kalian ini?” ujar orang yang keempat. “Topinya berwarna hitam dan semua orang bisa melhat warna itu. Kalian pasti setengah tertidur ketika Ia bercerita malam itu. Betapa bodohnya kalian.”
Perseteruan antara mereka soal warna
topi Tuhan terus terjadi hingga tanpa disadari kelompok orang didesa itu yang
sebelumnya hidup dengan berteman dan rukun berubah menjadi permusuhan.
Perseteruan tersebut masih terjadi
sampai hari ini, turun temurun kepada anak cucu mereka. Pembenci putih melawan
pembenci merah, pembenci hijau melawan pembenci hitam, merah lawan hijau, hitam
lawan merah dan seterusnya – masing-masing bersikukuh dengan apa yang mereka
lihat, tidak mau dibantah mengenai warna topi yang dipakai oleh Tuhan.
Sementara itu, Tuhan sampai saat ini
masih sering berjalan-jalan di desa tersebut dan sekitarnya, dalam penyamaran,
tapi ironis dan sedihnya, sekarang para pembenci gila tersebut terlalu sibuk
mempertahankan argumentasi mereka, sehingga tidak memperhatikan lagi.....
Banyak yang
dapat kita petik dari cerita tersebut diatas. Tapi yang akan saya tekankan pada
tulisan ini adalah masalah persepsi.
Kita masing2 mempunyai
persepsi. Pengetahuan mendalam mengenai persepsi dan realitas yang kita
lihat, sangat penting dalam kehidupan kita sehari-sehari. Kesadaran akan
persepsi yang tidak mungkin sama seratus persen pada setiap orang akan
dapat mengurangi banyak konflik dalam kehidupan.
Bagaimana kita akan mempunyai
pandangan yang sama seratus persen apabila panca indera kita masing-masing
berbeda. Apa yang kita lihat, rasa, dengar, cium dan raba pasti berbeda.
Realitas apa yang kita lihat dalam otak kita tidak mungkin sama satu sama
dengan yang lainnya.
Kebenaran yang kita lihat, rasa,dengar, cium dan raba adalah seratus persen benar-benar unik bagi diri kita masing-masing...ya diri kita sendiri. Mungkin saja ada persamaan pendapat dengan orang lain, tapi jelas realitas yang dilihat, dirasa, didengar, dicium dan diraba oleh orang tersebut tidak mungkin sama seratus persen dengan yang ada diotak kita.
Kebenaran yang kita lihat, rasa,dengar, cium dan raba adalah seratus persen benar-benar unik bagi diri kita masing-masing...ya diri kita sendiri. Mungkin saja ada persamaan pendapat dengan orang lain, tapi jelas realitas yang dilihat, dirasa, didengar, dicium dan diraba oleh orang tersebut tidak mungkin sama seratus persen dengan yang ada diotak kita.
Belief system kita
masing-masing, terbentuk karena pengalaman diri kita masing-masing dalam
kehidupan yang telah kita jalani selama ini. Persepsi yang kita dapati dan
percayai sebagai kebenaran lah yang membentuk belief system kita. Persepsi
terbentuk dari masukan yang kita terima selama ini dari lingkungan kita, orang
tua, keluarga, guru, komunitas, media berita, budaya, pemerintah, kepercayaan
dan sebagainya.
Kerangka-kerangka persepsi ini
terbentuk dari kombinasi pengetahuan dan pendapat yang kita dapat terus
menerus, dicampur dengan sifat menghakimi dan arogansi dari masing-masing kita
sendiri. Segala sesuatu didunia ini akan dinilai dan dihakimi melalui
kerangka-kerangka persepsi ini. Semua informasi yang tidak cocok dengan kerangka-kerangka
persepsi atau belief system kita, kita akan ditolak.
Dan jelas belief system orang lain,
walau itu saudara sekandung/isteri/anak sekalipun pasti berbeda.
Kesadaran akan hal ini, menjadikan
diri kita lebih mawas diri dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus selalu sadar
bahwa perbedaan pendapat atau persepsi pasti akan selalu terjadi. Realitas kita
berbeda dengan orang lain. Kita tidak boleh merasa “ego” atau “belief system”
kita masing-masing adalah yang paling benar, saat bermasyarakat. Bila persepsi
orang tidak sesuai dengan kita, kita tentu tidak bisa memaksakan kebenaran yang
ada dalam diri kita terhadap orang lain.
Menghargai pendapat orang lain merupakan langkah yang dapat kita lakukan.
Kita perlu mempunyai open mind dan mau mendengarkan pendapat orang lain.
Selama kita mempunyai open mind, kebenaran dan realitas akan masuk kedalam diri kita dan dapat mengubah pikiran dan tubuh kita. Bila kita tutup pikiran kita terhadap input-input baru, bagaimanapun kuat dan benarnya input itu, ia tidak akan bisa masuk dalam diri kita. Selain itu kita juga harus siap untuk mengakui bahwa mungkin saja belief system yang ada pada kita selama ini salah.
Menghargai pendapat orang lain merupakan langkah yang dapat kita lakukan.
Kita perlu mempunyai open mind dan mau mendengarkan pendapat orang lain.
Selama kita mempunyai open mind, kebenaran dan realitas akan masuk kedalam diri kita dan dapat mengubah pikiran dan tubuh kita. Bila kita tutup pikiran kita terhadap input-input baru, bagaimanapun kuat dan benarnya input itu, ia tidak akan bisa masuk dalam diri kita. Selain itu kita juga harus siap untuk mengakui bahwa mungkin saja belief system yang ada pada kita selama ini salah.
Untuk
memecah dan membuang kerangka-kerangka persepsi yang telah terbentuk sekian
lama, anda harus secara jelas merasakan masalah dan batasan yang ada pada
pendapat dan pengetahuan yang ada pada diri anda sekarang. Juga anda
harus melihat sifat menghakimi dan arogansi yang ada pada anda, dan
mengakui keberadaan sifat-sifat itu.
Open
mind adalah sebuah sifat yang mengakui berbagai kemungkinan dalam segala hal.
Open mind dimulai dengan mengakui bahwa ada diantara pendapat dan pengetahuan yang kita miliki dan yakini saat ini, bisa saja salah.
Open mind dimulai dengan mengakui bahwa ada diantara pendapat dan pengetahuan yang kita miliki dan yakini saat ini, bisa saja salah.
0 komentar:
Posting Komentar